ALKISAH SENJA, BURUNG KECIL, DAN POHON APEL

by - November 25, 2013

Semburat senja kini kian memerah merona. Mungkin sekali, dua kali pernah kutemui rona senja seperti ini. Hanya saja, berbeda tempat. Di atap kos-kosan yang terdiri dari tiga lantai, cukup untuk memandangi keindahan langit jinggaMu.
Perasaan ini terkadang kembali terulang, saat seseorang menyebutkan satu nama. Deg! Lupakan. Dia hanya masa lalu yang menghentak diri ini agar senantiasa berjaga dari perbuatan yang membuatku menyesal.
***
Terkisahlah antara seekor burung dengan pohon apel. Mungkin diantara burung yang lain dialah burung yang aneh. Bagaimana tidak, kemana saja ia selalu sendiri, bahkan di usianya yang telah beranjak dewasa (untuk seekor burung). Suatu hari, ia merasa kesepian. Di kejauhan ia melihat sebuah pohon berdiri kokoh dengan rimbunan buah apel berwarna merah yang hummm, ranum sekali.
“Hai pohon Apel, bolehkah aku beristirahat sejenak di dahanmu yang kuat ini?” tanya burung itu.
“Hoi, tentu saja burung cantik. Kau tentu boleh sekali menaiki dahan-dahanku” jawab pohon itu dengan senyum penuh wibawa.
Burung kecil pun beristirahat di salah satu dahan milik pohon Apel. Sejenak ia mengamati lingkungan di sekitar mereka. Burung-burung seperti dirinya pun terbang kesana-kemari, meliuk indah diantara hembusan angin. Sedangkan pohon Apel juga melihat pasangan burung itu terbang kian kemari. Pohon Apel sejenak memerhatikan sepasang bola mata burung kecil yang ada di dahannya. Tersirat sekali bahwa burung kecil itupun ingin terbang seperti kawannya.
“Hei burung kecil, maukah kamu aku berikan salah satu buah Apel ku?”
“Terimakasih pohon, aku belum lapar.” Jawabnya.
Entah apa yang dipikirkan oleh burung kecil itu. Sesekali matanya berkaca-kaca. Seakan-akan ada hal yang dipendamnya.
“Bila engkau berkenan, maukah kau menceritakan apa saja yang kau ingin ceritakan padaku?” tanya pohon Apel pada burung kecil dengan hati-hati.
“Ah, aku hanya sedikit lelah.”
“Tak mungkin hanya lelah jika kau terus berada di dahanku dengan mata yang berkaca-kaca seperti itu. Kalau tak keberatan, ceritakanlah. Aku pun sudah rindu sekali ingin mendengarkan cerita orang lain. Apalagi jika dia sedang bersamaku.” Ucap sang pohon sekali lagi.
Burung kecil itupun tak sanggup lagi menahan air matanya tumpah dari kedua bola matanya. Kicauannya pun kini berisi isak yang tertahan. Pohon Apel pun terkesima, menyangka betapa beban burung kecil ini seakan-akan mengubahnya dari periang menjadi burung yang memiliki luka yang sangat parah.
“Maaf, jika kedatanganku kesini mengganggumu pohon, sungguh aku tak berniat. Mulanya aku hanya ingin beristirahat. Namun, setelah melihat kedua burung disana, aku merasa, aku kesepian. Benar-benar merasa kesepian. Tubuhku lemah, aku tak bisa bayangkan bila hidup terus menyendiri dan aku mati dalam keadaan sendiri seperti ini. Aku hanya butuh teman. Teman yang dapat menerimaku apa adanya.” Jelas burung kecil sambil terisak.
Sang pohon Apel hanya tersenyum. Ia kemudian memanggil salah satu burung kecil yang lain yang tinggal di dalam pohon Apel. Pohon Apel hanya menggoyangkan sedikit dahannya. Burung kecil yang telah lama itupun terkejut.
“Ada apa pohon? Sudah waktunya kah?” tanya burung itu.
“Tak apa, aku hanya ingin mengenalkanmu dengan teman baruku ini. Perkenalkan, ini temanku sejak beberapa bulan yang lalu.” Ucap pohon pada burung kecil.
“Dan ini, teman baruku yang cantik bukan?”
“Hehe, dia tidak cantik...”
Burung kecilpun menunduk, sudah cukup. Semua resah dalam hatinya memuncak menjadi sebuah kebencian pada dirinya sendiri. Ia terbang, pergi. Melewati barisan pepohonan, meninggalkan pohon Apel dan kawannya. Dengan perih ia mencoba terbang. Mengepakkan sayapnya. Menahan perihnya luka. Sekuat apapun mencoba, burung kecil itu lemah. Ia tiada mampu terbang terlalu jauh. Ia mengepakkan sayap kecilnya terus menerus. Hingga datang seorang manusia pemburu yang sedang kesal sebab hewan buruannya tak tertembak. Manusia itu menembakkan senjatanya ke langit. Tanpa tujuan.
Darr! Akh, burung kecil yang menyimpan luka itu kini terjatuh dari ketinggian langit. Menghempas ke bumi.
“Sudahlah aku lemah tiada berdaya. Kini aku akan mati tanpa berdaya.” Ucap burung kecil itu.
Sayapnya patah, hatinya hancur, dan pelupuk matanya dibasahi oleh penyesalan.
Ah, selalu. Diam-diam burung kawan pohon Apel itupun datang.
“Aku sudah mengikutimu jauh sekali. Bahkan aku yakin kau ini tidak lemah seperti yang kau ceritakan pada pohon Apel itu. Kau ini kuat, dan luar biasa. Aku belum selesai bicara, aku hanya ingin mengatakan. Kau ini tidak cantik, namun kau sangat cantik. Bahkan sebelum aku melihatmu. Maaf aku menguping semua ceritamu pada pohon Apel itu.” Cerita burung kawan pohon Apel.
Burung kecil itu sekarat. Namun, ia tersenyum.
“Aku pun sama sepertimu, dulu. Aku merasa dikucilkan oleh kawan-kawanku. Akupun akhirnya pergi meninggalkan mereka. Karena aku yakin, bahwa ditempat lain pun aku bisa dihargai.” Lanjut burung kawan pohon Apel.
Manusia pemburu itu melihat bahwa burung yang tak sengaja terkena tembakannya itu jatuh terkapar, dan sekarat. Ia akhirnya menembakkan kali kedua senjatanya pada burung itu. Namun, pada burung kawan pohon Apel.
Darr! Suara tembakan itu nyaring kembali. Alampun sunyi. Meninggalkan manusia pemburu yang (mungkin) tak pernah mengerti apa itu arti kehidupan dan kesempatan.
***
Senja semakin pekat saja. Sudah waktunya beristirahat. Masih ada tugas-tugas dan amanah-amanah lain yang menunggu untuk disambangi dan dikerjakan.

Keep POSITIVE THINKING and Keep ISTIQOMAHAMASAH!!!

@yulinsar

You May Also Like

0 komentar