Menanti Senja di Jingga

by - Maret 24, 2014


Hari berjalan begitu lambat dari biasanya. Semangkuk bubur ayam itu terlihat tak begitu menarik. Hambar. Aku bosan dengan kegiatan yang seperti ini saja. Aku butuh pemandangan baru. Bukan pemandangan sesak di lorong rumah sakit setiap hari. Melihat orang meninggal setiap hari. Menghirup aroma khas rumah sakit. Tusukan jarum, bilik kamar, toilet yang bau obat bahkan telah menjadi keseharianku. Aku tak tahan lagi.

Ini adalah minggu ke empat aku berada disini. Melihat pengunjung berganti setiap harinya. Menahan sedih dihati atas satu tanya yang susah aku temui jawabannya.
“Kapan aku sembuh, Ma?”
“yang sabar ya nak, kamu akan sembuh, pasti”

Setiap hari hanya mama yang menjagaku. Papa sibuk dengan pekerjaannya. Atau memang ia tak peduli? Yang ia hanya banggakan hanya kak Duta saja. Aku benci Papa! Aku benci kak Duta! Lulusan Finance dari Australia itu hanya berpura-pura baik padaku, ia menyesal karena telah merampas Papa dariku. Aku benci pekerjaan papa! Ia terus saja merenggut kebersamaanku dengan Papa.

Aku butuh Papa, bukan uang Papa”

**

Pagi ini, masih kuhirup udara yang sama dari bangsal rumah sakit. Menikmati kerontokan rambutku yang indah setiap harinya. Sarapanku pagi ini suntikan lagi. Segenggam obat lagi. Ah, kulihat kalender hari ini harusnya aku kemo. Huh, sudah kebal rasanya. Terduduk di kasur ini hanya tinggal menyambut pelahap maut. Malaikat yang sudah berlalu lalang di lorong rumah sakit. Tinggal beberapa langkah menuju kamarku ini.
“Ma, Papa kapan menjengukku?” Tanyaku pada Mama
“Papa pasti jenguk kamu kok, ini dimakan dulu” jawab Mama.

Perlahan sambil menikmati suap demi suap bubur, aku yakin, Papa tak mungkin datang. Mama bilang begitu hanya ingin menghiburku. Aku tahu Ma, Papa takkan pernah kesini, karena memang aku tak pernah dihiraukannya. Aku tak pernah dianggap olehnya.

Tok tok tok. Suara ketukan dari luar kamar. Duta kembali datang, kali ini ia membawakanku banyak buku untukku. Ia tersenyum tanpa menghiraukan bahwa aku menolak kedatangannya. Mama mengerti, ia segera mengajak kak Duta mengobrol ke luar. Aku lirik buku-buku bawaannya. Kubaca sekilas judulnya, hampir semua adalah bacaan tentang Agama, Islami.

“Kamu apa kabar Ta?” Tanya Mama.
“Baik ma, aku baik-baik saja” jawab kak Duta.
“Mama tahu, kamu bohong. Kamu pasti sakit kan melihat kelakuan adikmu seperti itu”
“Mama tahu kamu sayang sekali dengan adikmu, relakan saja dia, biarkan dia lakukan apa yang ingin ia lakukan”
“Tapi Ma, Nisa perlu mendapatkan semangat hidup kembali, ia tak boleh terus-terusan begini, Duta sayang sama dia Ma, meskipun adik Duta benci sama Duta, Duta gak peduli Ma. Biarkan ia menyalahkan Duta, karena memang Duta yang salah.. Papa juga titip pesen.. Dia gak boleh tahu sebelum ia sembuh”
“Kamu gak salah Ta.. ka..”
“Sudahlah Ma, Duta ikhlas, Mama juga kan?”
Pecahlah tangis Mama. Aku hanya bisa mendengarnya dari luar. Dendamku semakin membara padanya. Aku sudah tak tahan lagi, rasanya inginku lumat-lumat kepalanya. Dia sudah menyakiti Mama, buktinya ia membuatnya menangis.

“Mamaaaaa!” Aku panggil Mama.

Mama segera memasuki kamarku. Nah, benar kan Mama menangis. Terlihat Mama menyimpan sesuatu padaku. Namun tak ku hiraukan, karena kakak yang aku benci itu memang sudah aku lumat habis namanya dalam ingatan.

**

Hari terakhirku di rumah sakit, kata dokter aku sudah boleh pulang, kankerku sudah bersih. Aku sehat. Aku juga bahagia dapat kembali ke rumah, meskipun hanya berdua dengan Mama, tanpa Kakak Pelahap mimpi dan Papa yang aku sangat benci padanya. Selama aku sakit, tak pernah sedikitpun ia menampakkan batang hidungnya.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kulihat Mama terkadang ingin mendekatiku. Namun ia selalu mengelak jika aku tanya. Mama juga sudah tak terlihat lagi sedang menelpon seseorang, ia jarang menelpon Papa, atau Papa yang sudah benar-benar melupakan keluarga ini? Sesekali Kak Duta datang berkunjung, kini aku sudah mulai melunak padanya. Tak sebenci dulu.

**

“Nisa, Mama ingin bicara sama kamu Nak”
“Iya Ma, ada apa?”
“Waktu kamu di rumah sakit, sudah berapa banyak orang yang kau lihat keluar-masuk kerumah sakit nak?”
“Banyak Ma”
“Dari sekian banyak, apakah kamu mengenalnya?”
“Tidak ada yang ku kenal Ma”
“Apa yang kau rasakan jika mereka meninggal Nis?”
“Mungkin aku akan sedih Ma, tapi tak sesedih jika Mama atau keluarga yang lain meninggal”
“Oh, begitu. Jika ada orang yang pernah kau kenal dekat, namun kau menjauhinya, dan tak kau sangka ia meninggal, apa yang kau rasakan Nak?”
“Tak tahu Ma, pasti Rumit sekali”

Aku tak tahu arah obrolan ini kemana. Aku hanya melihat senja begitu memancarkan pesona jingganya. Meskipun gelap akan merambah menutupi keindahannya. Mama lalu memberikanku secarik kertas berwarna oranye. Warna kesukaanku. Aku bertanya pada Mama itu apa, Mama hanya menyuruhku untuk membacanya, katanya itu dari orang yang selalu mencintaiku.

Assalamualaikum permata hatiku, Dea Annisa.
Mungkin saat kau baca surat ini semuanya sudah terlambat. Aku yang sedari dulu mengharapkanmu memaafkanku karena aku tak dapat memenuhi semua permintaanmu sebab aku lebih mendahulukan kepentingan kakakmu.
Kamu tahu Nak, Papa sangat menyayangi kalian berdua, sama. Namun, kau selalu menganggap aku tak adil. Aku bingung Nak.
Papa senang sekali saat bidan dekat rumah itu bilang bahwa Papa akan mempunyai anak perempuan, lengkaplah sudah kebahagiaan Papa dengan hadirnya dirimu. Kian hari dirimu semakin lincah, Papa sering menggendongmu di atas kepala Papa, kau ingat itu? Dulu saat kau terjatuh dari sepeda karena kakakmu kurang menjagamu, Papa marah sekali dengan kakak, kakak bahkan ngambek sekali dengan Papa. Namun ia menyalurkan dendam padamu dengan prestasinya. Papa bangga sekali saat Kakakmu diterima beasiswa ke luar negeri. Papa tak pernah tahu Nak, bahwa diam-diam dihatimu terselip iri karena kesalahan Papa yang selalu membanggakan kakakmu. Papa tahu kamu marah, bahkan sangat marah.
Hati Papa hancur saat tahu permata Papa menderita kanker, Papa menyesal sekali Nak. Papa mewariskan kebiasaan buruk padamu. Makan junk food, tak sehat, kamu pun menghirup asap rokok Papa. Saat kamu masuk rumah sakit, Papa bingung sekali. Biaya perawatanmu mahal sekali. Apalagi harus rawat inap, obat kemo, ah Papa tak punya uang banyak Nak. Akhirnya Papa putuskan untuk bekerja apa saja untuk menutupi biaya rumah sakitmu. Kakakmu sering mengingatkan bahwa gajinya cukup untuk merawatmu. Tapi Papa benar-benar menebus kesalahan Papa padamu, Papa bekerja siang malam untukmu.
Tapi karena kebodohan Papa, Papa terlalu banyak menghisap nikotin Nak. Paru-paru Papa tak kuat lagi menampung racun-racun itu. Akhirnya Papa masuk rumah sakit, satu rumah sakit denganmu Nak, ya Papa kena kanker paru-paru stadium akhir. Terlambat untuk berobat. Disini papa mengerti bagaimana perasaanmu Nak, kanker itu menyakitkan. Namun lebih menyakitkan jika tak dianggap oleh anak sendiri.
Maafkan papa yang tak bisa memberikan yang terbaik untukmu Nak, maafkan Papa yang tak adil dimatamu. Maaf karena Papa tak bisa mencium keningmu, tak dapat lagi menjagamu.
Sayangi Mama Nak, sayangi Kak Duta, ia tak salah, Papa yang salah.
Jangan lupa shalat ya..

Dari seseorang pendusta yang kau panggil Papa..”

Mataku berkabut, tenggorokanku sakit. Senja kali ini benar-benar gelap. Benar-benar gelap. Maafkan aku Pa. Aku membuatmu sebegitu besar merasa bersalah. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu.

@yulinsar
Di bawah langit senja
Cilodong

You May Also Like

4 komentar