Cinta Karena Allah

by - April 05, 2014

google.com
Hari ini berjalan seperti biasanya, flat. Masih dengan kerudung biru dongker dan semi gamis berwarna senada aku menyusuri kampus cinta dan peradaban. Cinta? Ah cinta. Masih dengan kata yang sama saat kita bertemu dalam tulisan kemarin. Cinta. Ia tak pernah berubah meskipun para peniti jalannya selalu berganti. Ia sebuah kata kerja yang tak pernah berakhir masanya.

Menggelitik memang, apa sih yang membuat jariku tergelitik dengan kata berjuta rasanya di hari ini. Aku sendiri tak menyangka bahwa ucapan kecil itu akan begitu besar suatu saat nanti.

Bermula pada kelas Strategi Pembelajaran di pagi yang cerah ini. Memang bukan giliranku yang presentasi, tetapi ini sungguh berkesan. Saat itu seorang kawan sedang berperaga menjadi seorang da’i. Khairul namanya. Awalnya ia bercerita tentang lima perkara sebelum lima perkara. Kau tahu itu? Ya, tentang sehat sebelum sakit, saat yang kita rasakan saat ini muda sebelum tua, kaya sebelum sempit, lapang sebelum sempit, dan hidup sebelum mati. Khairul hanya menitik beratkan pada materi sehat sebelum sakit.

“Dalam tubuh yang sehat ini, semestinya banyak yang bisa kita lakukan. Banyak hal” Ungkapnya.

Ya, aku setuju sekali dengan itu. Bagaimanapun keadaan kita saat ini semestinya harus disyukuri bahwa betapa nikmat yang telah Allah berikan pada kita begitu banyak. Seharusnya memang kita dapat pergunakan dengan sebaik-baiknya.

Tapi bukan itu yang menjadi cerita pada bagian ini. Pada akhir ceramahnya Khairul mengatakan “Seharusnya apa yang kita lakukan didasari dengan cinta pada Allah, cinta karena Allah. Misalnya jika saya mengatakan pada wanita ini (menunjuk salah satu kawan di depan) Saya cinta dia karena Allah hanya sekedar perkataan, maka itu bukanlah didasari karena Allah. Tetapi jika saya benar mencintai dia karena Allah, pasti saya akan menjaga dia sampai mati.”

Sontak seisi kelas ramai, ada yang menyoraki, ada yang tersipu, ada yang tertawa. Berarti sekali. Setiap ekspresi yang ditampilkan teman-teman dapat diartikan sebagai tanda cinta mereka. Ya, emosi yang spontan kadang berarti pernyataan sikap setuju atau tidak menyetujuinya.

Cinta. Perempuan mana yang tak ingin dicintai seperti apa yang dikatakan Khairul tadi? Di zaman seperti ini rasanya sebuah kesetiaan dan cinta yang didasari karena Allah itu langka sekali. Sayang sekali jika apa yang dijaga sampai mati itu belum halal. Ah, nihil. Bukankah Allah menyukai orang-orang yang mendekat padanya, menjaga cintanya dengan suci hingga yang halal datang?

Kadang aku harus tekankan lagi pada para kawanku diluar sana, yang masih disayang Allah dengan pemberian segala nikmat yang telah tersedia, “Masihkah menjaga diri untuk dirimu sendiri? Masihkah cinta itu suci hingga datang menjemput bidadari?”

Inginku katakan pula pada cinta yang bersemi dihati para penjaga fitrah, “Adakah disana ia berkembang menjadi obat ataukah perih, masihkah ia putih bersih ataukah pucat pasi? Adakah ia utuh terpatri ataukah hanya menjadi duri?”

Cinta. Cinta apakah yang akan terjadi pada diri yang lemah ini? Adakah ia dijemput warna pelangi, ataukah sembilu belati?


April 2014
@yulinsar

You May Also Like

0 komentar