Cinta Karena Allah
google.com |
Hari
ini berjalan seperti biasanya, flat. Masih dengan kerudung biru dongker dan
semi gamis berwarna senada aku menyusuri kampus cinta dan peradaban. Cinta? Ah
cinta. Masih dengan kata yang sama saat kita bertemu dalam tulisan kemarin.
Cinta. Ia tak pernah berubah meskipun para peniti jalannya selalu berganti. Ia
sebuah kata kerja yang tak pernah berakhir masanya.
Menggelitik
memang, apa sih yang membuat jariku tergelitik dengan kata berjuta rasanya di
hari ini. Aku sendiri tak menyangka bahwa ucapan kecil itu akan begitu besar
suatu saat nanti.
Bermula
pada kelas Strategi Pembelajaran di pagi yang cerah ini. Memang bukan giliranku
yang presentasi, tetapi ini sungguh berkesan. Saat itu seorang kawan sedang
berperaga menjadi seorang da’i. Khairul namanya. Awalnya ia bercerita tentang
lima perkara sebelum lima perkara. Kau tahu itu? Ya, tentang sehat sebelum
sakit, saat yang kita rasakan saat ini muda sebelum tua, kaya sebelum sempit,
lapang sebelum sempit, dan hidup sebelum mati. Khairul hanya menitik beratkan
pada materi sehat sebelum sakit.
“Dalam
tubuh yang sehat ini, semestinya banyak yang bisa kita lakukan. Banyak hal”
Ungkapnya.
Ya,
aku setuju sekali dengan itu. Bagaimanapun keadaan kita saat ini semestinya
harus disyukuri bahwa betapa nikmat yang telah Allah berikan pada kita begitu
banyak. Seharusnya memang kita dapat pergunakan dengan sebaik-baiknya.
Tapi
bukan itu yang menjadi cerita pada bagian ini. Pada akhir ceramahnya Khairul
mengatakan “Seharusnya apa yang kita lakukan didasari dengan cinta pada Allah,
cinta karena Allah. Misalnya jika saya mengatakan pada wanita ini (menunjuk
salah satu kawan di depan) Saya cinta dia karena Allah hanya sekedar perkataan,
maka itu bukanlah didasari karena Allah. Tetapi jika saya benar mencintai dia
karena Allah, pasti saya akan menjaga dia sampai mati.”
Sontak
seisi kelas ramai, ada yang menyoraki, ada yang tersipu, ada yang tertawa.
Berarti sekali. Setiap ekspresi yang ditampilkan teman-teman dapat diartikan
sebagai tanda cinta mereka. Ya, emosi yang spontan kadang berarti pernyataan
sikap setuju atau tidak menyetujuinya.
Cinta.
Perempuan mana yang tak ingin dicintai seperti apa yang dikatakan Khairul tadi?
Di zaman seperti ini rasanya sebuah kesetiaan dan cinta yang didasari karena
Allah itu langka sekali. Sayang sekali jika apa yang dijaga sampai mati itu
belum halal. Ah, nihil. Bukankah Allah menyukai orang-orang yang mendekat
padanya, menjaga cintanya dengan suci hingga yang halal datang?
Kadang
aku harus tekankan lagi pada para kawanku diluar sana, yang masih disayang
Allah dengan pemberian segala nikmat yang telah tersedia, “Masihkah menjaga
diri untuk dirimu sendiri? Masihkah cinta itu suci hingga datang menjemput
bidadari?”
Inginku
katakan pula pada cinta yang bersemi dihati para penjaga fitrah, “Adakah
disana ia berkembang menjadi obat ataukah perih, masihkah ia putih bersih
ataukah pucat pasi? Adakah ia utuh terpatri ataukah hanya menjadi duri?”
Cinta.
Cinta apakah yang akan terjadi pada diri yang lemah ini? Adakah ia dijemput
warna pelangi, ataukah sembilu belati?
April 2014
@yulinsar
0 komentar