Ketika TakdirNya Berbicara 1

by - Oktober 14, 2014


EPISODE 1

Siang hari yang terik. Membuatku tak ingin beranjak dari kelas yang berAC ini. Penghabisan semester ganjil hanya tinggal menghitung hari. Ya, akhir-akhir ini aku sedang Ujian Akhir Semester lima, semester yang cukup dibilang tua. Yeah! Liburan. Entah apa yang aku fikirkan. Kawan-kawan lain sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan magang, aku malah mempersiapkan untuk pergi jalan-jalan ke tempat yang selama ini aku idam-idamkan. Aneh? Ya itulah aku. Itu adalah salah satu kepanjangan dari namaku. Anis, Aneh tapi manis. Whatever lah! Is ME! Haha.

“Nis, kamu gak pulang ke kosan?” Tanya Lala teman sekelasku.
“Mager banget, panas gini. Mau ngadem dulu bentar, hehehe” Jawabku.
“Oh ok deh, aku duluan ya! Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam”

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, tapi matahari masih perkasa menerangi bumi. Ah, mau tak mau aku harus pulang ke kosan.

--

JEDDARRR!!!

Suara petir ditengah hari bolong itu datang, membuat gemuruh kian bersahut-sahutan. Suara petir itu bukan datang dari langit. Melainkan dari dalam hatiku. Seakan batin ini ingin teriak, tapi hanya tertahan dan mengalirkan muara dari kedua pipiku.

“Kamu harus nikah, sudah Abi jodohkan dengan anaknya teman Abi waktu Abi sekolah di Turki sana. Anaknya tampan, dia sudah lulus S2 di Bandung. Sekarang jadi dosen, juga lagi lanjut studi S3 di kampus kamu. Abi lupa namanya siapa, tapi Abi yakin dia itu baik untuk kamu” perintah Abi panjang lebar.

Nikah? Harus? Dijodohin? Aku berharap ini hanya mimpi di siang hari. Benar-benar hanya mimpi. Tapi sayangnya sudah kucubit berkali-kali pipi ini, ini bukan mimpi. Bahkan sudah kucubit teman sekamarku hingga dia mencubit balik dengan kerasnya, ternyata ini memang bukan mimpi.

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!! Aku masih mau traveling Abiii, aku masih mau kuliah yang focus dulu, aku belum bisa ngurus rumah telaten, aku belum siap ruhiyahnya, aku belum, aku belum, aku belum SIAP!

Sayangnya kata-kata itu hanya muncul dipikiran liarku. Untuk berkata ‘Ah’ saja aku tidak berani. Akhirnya aku hanya bilang padanya bahwa akan kupikirkan matang-matang. Abi, aku selalu tak sampai hati menolak permintaan orang tua, apalagi orangtua sepertimu yang amat baik padaku.

Hari-hariku kemudian menjadi aneh, entah kenapa fikiranku melayang-layang dari mulai soal-soal UAS, liburan, bahkan dengan tawaran yang memaksa dari Abi. Huft liburan kali ini akan membuatku memikul pikiran yang bercabang.

--

“S3 Nis? Umurnya udah tua dong? Kok kamu mau?” tanya Sasa histeris
“Gatau Sa, liat mukanya aja belom. Ya, aku bisa apa? Udah kaget duluan pas disuruh nikah, gimana mau nanya umur, tampang atau latar belakangnya. Kenapa jadi gini ya hidupku” keluhku
“Huss! Semua itu kan udah diatur Nis, jodoh, rezeki, maut itu kan udah ditentukan sejak penciptaan kita. Kamu tahu itu kan Nis?” ucap Sasa
“Lagipula, diluar sana banyak loh akhwat-akhwat yang belom nikah tapi udah berumur, nah kamu.. tawaran depan mata kok malah lesu..” lanjutnya
Aku terdiam, membenarkan perkataannya dalam logikaku. Tapi, lagi-lagi hatiku belum bisa menerimanya.
“Terus juga Nis, kamu tau kan nikah itu ibadah, nurutin nasehat orang tua dalam hal baik itu juga ibadah, masa kamu mau nolak dua ibadah sekaligus” lanjut Sasa lagi
“Tapi kan, ibadah yang lain juga banyak Sa. Kamu juga tau itu kan? Kalo kamu di posisi aku gimana pendapatmu?” tanyaku
“Hmm, aku sih cari tahu dulu gimana-gimananya. Baru deh bisa buat kesimpulan. Seharusnya sih waktu itu kamu tanya-tanya dulu sama Abi kamu tentang orang itu” jawabnya
“Iya sih, tapi aku kan ga kepikiran itu Sa. Terus aku gimana dong?”

Membuat keputusan tanpa pertimbangan bukanlah tipeku. Tapi, untuk yang satu ini mengapa aku seketika lupa? Terlalu bermain dengan perasaan, dan itu juga bukan tipeku. Kali ini aku harus segera pulang dan mengonfirmasi pada Abi mengenai hal ini.

--

Langit mendung tak berarti hujan. Senja ini begitu indah, oranye menyelimuti langit dengan apik. Membuat penampakannya begitu menenangkan hati. Aku masih terduduk di balkon rumah. Memikirkan perkataan Abi tadi siang saat aku sudah di rumah. Mungkin ya, kali ini aku benar-benar harus menata hidupku dan menjalaninya, dengan seorang disisi.

“Eh, anak Umi yang sholehah sudah pulang” sambut Umi dari dalam rumah
Aku hanya tersenyum dan mencium lembut punggung tangan yang lembut itu.
“Anis sudah pulang? Istirahat dulu sana di kamar ya” sambut Abi
“Iya Abi, tapi Anis mau bicara sama Abi nanti ya”
Abi tersenyum dan mengangguk menjawab pertanyaanku.

Kupersiapkan pertanyaanku secara rinci. Mulai dari bertanya alasan Abi mengapa ingin aku menikah, mengapa sudah memilihkan seseorang? Mengapa tidak menungguku lulus kuliah dulu? Dan puluhan pertanyaan sudah kupersiapkan baik-baik. Aku turun ke bawah menemui Abi di ruang baca. Kukumpulkan seluruh keberanianku untuk memulai bertanya. Jantungku berdegup kencang, melebihi saat menunggu nilai UAS keluar.

“Assalamualaikum, mmm Abi, mm Anis boleh ganggu?” tanyaku gugup
“Waalaikumsalam, boleh banget anakku sayang, sini duduk sini” jawabnya sambil membenarkan posisi duduk
“Mmm, Anis mau tanya.. mm”
“Mau tanya apa sih Nis, ampe gugup begitu”
“Tapi Abi jangan marah ya?”
“Kapan sih Abi pernah marah sama Anis?”
“Hehe, mm Anis mau tanya.. kapan Abi ketemu Umi dan yakin untuk menikah?” tanyaku

Alhasil, itulah yang keluar dari kedua bibirku. Seakan lidahku kelu untuk bertanya tentang hal-hal yang sudah kupersiapkan tadi.

“Haha, itu doang? Abi rasa kamu beneran harus punya suami biar punya kisah juga kaya Abi dan Umi” ledeknya
Nah kan? Malah diledek.
“Abi itu ketemu Umi…”

Aku tersenyum sendiri mendengar cerita dari Abi. Mungkin Umi akan Geer kalau saja beliau mendengar cerita yang dikisahkan Abi. Mereka bukan dijodohkan, hanya saja tidak sengaja berjodoh. Sebelumnya, Abi memang sudah menyimpan sudut hati tersendiri untuk Umi, adik tingkat di tempat kuliahnya dulu. Abi sudah bersiap dan menyatakan siap menikah pada guru ngajinya, dan sudah siap mengkhitbah Umi saat itu. Namun, saat bertandang ke rumah Umi, kata Ayah dari Umi yang kini adalah Kakekku, Umi sudah mau dijodohkan sama guru ngaji Umi, dan sekarang sedang taaruf dengan yang dijodohkan itu. Terpatah-patahlah hati Abi seketika itu. 

Ditengah kegalauannya saat pulang, dijalan ia ditelepon oleh Ustadz Aris yang tak lain adalah guru ngaji Abi, katanya Abi di suruh ke rumahnya Ustadz Aris. Abi kaget begitu sampai rumah Ustadz, karena ada sandal Umi di rumah Ustadznya. Abi menyangka bahwa Ustadz Aris yang akan meminang Umi untuk jadi istri kedua. Makin hancurlah hati Abi saat itu oleh prasangkanya, saat ingin berbalik pulang ia ditahan oleh Ustadz dan disuruh duduk, dan ternyata maksud Ustadz Aris adalah ingin menjodohkan Umi dengan Abi yang menurut pandangannya cocok dan sesuai visi misinya. Umi, Abi, betapa beruntungnya kalian.

Jalan takdir mereka begitu indah. Menurut pandanganku, inilah cara kerja hidup terkadang alurnya tak selalu kita mengerti.

(Bersambung...)

You May Also Like

0 komentar