Tegas dan Bersahabat
Kisah ini masih terekam
jelas dalam ingatanku, tentang seseorang yang sangat menginspirasiku hingga
kini. Menjadi guru tak harus selalu memahami dengan kasih sayang yang harus
ditunjukkan. Ada kalanya dimana kasih sayang harus ditunjukkan dengan
ketegasan. Tak mesti menjadi guru killer untuk selalu terkenang dalam ingatan
alumni sekolahnya, meskipun sebenarnya kebanyakan seperti itu. Tegas tak
berarti galak, dan lembut tak selalu baik.
Namanya Eny Nency Beatris, S.Pd, guru muda yang diamanahkan untuk mengajar kelas X dan XI. Wajah bercitrakan khas orang Batak yang tegas. Rambut sebahu, kulit putih, cantik. Ia mengajar kelasku, X TKJ 2, kelas yang dihuni oleh anak-anak yang super duper otak kanan. Ya, teman-temanku ini kerap kali menjadi perhatian satu sekolah karena kreatif yang berlebih. Namun, begitu bertemu dengan bu Nency yang mengajar IPA kami merasa tersalurkan energy kreatifnya.
Ingat sekali saat
pertama kali beliau mengajar. Jam pelajaran beliau itu sekitar pukul 15.45 WIB,
bada ashar. Semua teman-temanku yang sudah shalat duluan aman dari tegurannya,
namun aku dan kawan-kawan yang lain (kebanyakan laki-laki) telat untuk masuk
kelas. Alasanku karena ada urusan lain, waktu itu sedang mengurus madding
Rohis. Huh! Begitu masuk kelas, semua yang telat masuk disuruh untuk berdiri di
depan dan di introgasi masing-masing. Tiba pada giliranku,
“Kamu, siapa namamu?”
tanyanya.
“Ayu Lindasari, bu”
jawabku takut.
“Kenapa telat?!”
tanyanya lagi.
“Maaf bu, saya habis
sholat” jawabku.
Dia hanya
mengangguk-angguk dan mengaku sebal jika ada yang telat masuk kelasnya, baru
kelas X sudah telat mulu.
“Ini nih yang buat saya
kurang suka, kalian shalat Ashar jam berapa adzannya? Jam setengah 4 kan?
Kalian istirahat itu lama loh jedanya. Bisa sholat dulu baru dilanjut makan dan
terserah kalian mau ngapain. Utamakan dulu yang wajib, dan jangan dengan alasan
itu kalian jadi telat masuk kelas saya. Mulai besok, pas istirahat langsung
sholat. Jangan main atau ngobrol dulu! Mengerti?! Sekarang silahkan duduk” jelasnya
panjang lebar.
Leganya, tadinya aku
ingin menjelaskan sebab aku terlambat sholat, tapi ya sudahlah tak ada
pentingnya juga. Ini memang kesalahan kami. Semenjak kejadian itu kami tak
pernah telat sholat Ashar di sekolah, meskipun pada saat pelajaran beliau saja.
Metode pelajaran beliau
bukan metode konvensional yang melulu ceramah, dengan cara mengamati, membuat
catatan dengan cara yang berbeda dari yang lainnya, keluar kelas. Salah satu
yang paling membekas dan memiliki kenangan adalah catatan-catatan di buku tulis
yang penuh dengan gambar dari kreatif kita sendiri. Gambar yang penuh dengan warna-warni indah.
Bu Nency mengajar
hingga kami kelas XI. Semua tugas yang beliau berikan itu banyak, bahkan
terkadang sampai ide untuk mewarnai setiap tugas beliau itu mentok dan sampai
tak tahu harus menggambar dan mewarnai seperti apa lagi. Kadang, gambar yang
kita buat pernah kita gunakan di kelas X, meskipun hasilnya lebih bagus, tapi
nilainya selalu kecil. Hiks. Ternyata beliau tahu kecurangan kami. Hohoho.
Meskipun beliau berbeda
keyakinan dengan rata-rata kami. Beliau adalah seorang Kristen yang taat. Tapi,
kami tak pernah merasa beliau memilih-milh untuk memberikan nilai. Beliau
seorang yang tak bermasalah dengan perbedaan, sangat objektif dan menyenangkan
jika curhat dengan beliau. Terkadang diluar kelas kami suka bercerita, meskipun
hanya sekilas diskusi dan kadang ia hanya tersenyum menanggapi bahkan lebih
sering meledek dan menertawakan, tapi tak pernah sakit hati, yang ada malah
kami ikut tertawa bersamanya.
Namun, satu hal yang
membuatku sedih adalah ketika 2 tahun lalu aku mendapati kabar bahwa beliau
telah meninggal dunia setelah melahirkan anak pertamanya secara Caesar.
Kini, guru teladan yang
bukan sekedar penghargaan itu telah tiada. Namun, sinar keteladanannya selalu
ada, dan aku terapkan jika nanti aku mengajar nanti. Tak perlu galak ataupun
terlalu lembut. Namun jadilah guru yang tegas dan bersahabat.
14 Mei 2014
@yulinsar
0 komentar